Rabu, 08 April 2015

Ed Sheeran Fan Fiction

Halohalo! Apa kabar? Sudah sekian lama nggak nge-post lagi. Sedih:(( Alasan yang pasti adalah sibuk sama printhilan tentang sekolah. Udah Esema sih ya wkwkwk:)) Nah, mumpung lagi nyelo-nyeloin waktu aku mau share Fan Fiction-nya Ed Sheeran. Udah lama kepikiran untuk buat ceritanya Ed Sheeran secara dia itu romantis banget<3 Dan baru kesampean minggu lalu. So, don't wait any longer! Here's the story below!


Kopi dan Gitar

(An Ed Sheeran Fan Fiction)

          Sore yang mendung ini aku habiskan di sebuah kedai kopi di pinggir kota. Kedai ini cukup besar, interior design-nya terkesan retro, temboknya pun penuh foto para musisi lawas yang dipigura seragam berwarna hitam. Sudah 1 jam aku duduk dan kopiku tinggal setengah cangkir. Di depanku, seorang laki-laki bernyanyi sembari memainkan gitarnya. Kopi dan gitar. Itulah awal mula aku bertemu dengannya, 3 tahun lalu di suatu tempat ribuan kilometer jauhnya dari aku duduk sekarang. 

#Flashback#

          Pakaian 3 lapis yang kupakai tak mampu menghilangkan dingin yang menyeruak di kulitku. Sebagai orang tropis, suhu dibawah 20 derajat itu sudah sangat dingin. Kuputuskan untuk singgah di sebuah kedai kopi di persimpangan jalan. Kedai ini besar,penuh sesak dengan para orang Inggris bersuara keras. Sebagian dari mereka memilih meminum bir untuk menghangatkan diri. Sedangkan aku, membeli secangkir kopi susu dan memilih duduk di sudut ruangan sendirian. Kedai ini memiliki sebuah panggung kecil di tengahnya. Dan, saat ini seorang laki-laki bertubuh tak terlalu tinggi,berambut ginger sedang bermain gitar. Kagum, itu satu kata yang aku bisa berikan untuk laki-laki itu. Laki-laki itu menyanyikan sebuah lagu ballad. Suaranya lembut. Laki-laki itu menyanyikan 5 buah lagu dan setelah itu turun dari panggung. Barulah aku sadar bahwa kopiku telah habis. Bergegas aku pergi dari kedai itu. Namun, seseorang memanggilku, “Hey!”. Aku menoleh, laki-laki tadi keluar sambil menenteng tas gitarnya. Dia berjalan mendekatiku. “I saw you when I played. You looked enjoy my gig, don’t you?”tanyanya. Aku tersenyum, “That was incredible gig I’ve ever saw”. “Ed Sheeran. But, my friends call me Ed” ia menyodorkan tangannya. “Renata. But they often call me Ata”aku membalas salamnya.
          Sejak perkenalanku dengan Ed di malam itu, kami makin dekat. Aku sering menemaninya di saat ia bernyanyi. Dari satu tempat ke tempat lain. Malam demi  malam. Secangkir kopi demi secangkir kopi. Setelah itu, kami akan berjalan menyusuri London yang gemerlap. Berjalan di pinggir Thames River sambil menatap London Big Eye dari kejauhan. Atau kami hanya duduk di pinggir sungai sembari melihat bintang dan berbicara tentang mimpi kami. “One day, I will be a great singer”ucap Ed. Aku menoleh, Ed menatap langit. “You will, Ed”ucapku. Ed menatapku, “And at that time, you always be there for me”. Kami tersenyum. “I will”bisikku.
          Kali ini, Ed mengajakku ke Cornwall. Dengan mobil pinjaman sahabat, kami pergi. Melewati kota dan desa serta menembus hutan. Hanya cerita dan tawa yang ada. Diselingi nyanyian Ed di setiap lagu yang disetel di radio mobil. Kami sampai di Cornwall ketika sore menjelang. Ed memacu mobil ke jalan tanah bergelombang. “Where are we going?”tanyaku. “Somewhere you never find in London or even the world”jawabnya, misterius. Ed menghentikan mobil. “Close your eyes”perintahnya sembari mengambil tas punggung di jok belakang. Aku menuruti. Ed menuntunkan berjalan, yang aku tahu hanya tekstur tanah yang bergelombang dan bau tanah basah akibat hujan semalam. “Stop now!”pintanya. Aku berhenti berjalan. “Guess where we are now!”ujarnya. Aku berfikir. Suara air menghantam sesuatu terdengar di kejauhan. Ombak, ya ini ombak. “The beach!”tebakku riang. “You’re right, lady”Ed melepaskan tangannya dan sekarang kami berada di atas tebing menatap laut dan matahari. “You weren’t eating anything recently. So, we must have a picnic now!”ucap Ed. Ia mengeluarkan semua alat piknik dari tas punggungnya. Tanpa banyak bicara kami memakan makanan kami. “Ata, I have something for you”ujar Ed. Ia mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. “This bracelet, I made it by myself. And it’s special for you” ia memasangkan gelang berwarna biru laut itu di tangan kananku. “Thank you so much”ucapku. Ed tersenyum, “I made it with all of my heart and I think about something I want to say, and it’s I love you” bisiknya. “Me too”balasku.  Dan disana matahari makin tenggelam di garis horizon.
          Aku dan Ed menjalaninya dengan biasa. Hingga ia menjadi penyanyi terkenal dengan banyak wanita yang mengidolakan. Dengan segala lagu romantic yang ia mainkan dengan gitarnya, siapa yang tidak jatuh hati. Namun, aku tahu Ed bukanlah seseorang yang mudah berpaling. Hatinya terlalu teguh untuk ditaklukkan. Cintanya terlalu kuat untuk ditandingi. Dan aku tahu itu.
          Sudah 30 hari semenjak Ed pergi tur. Sudah 30 hari kami berkomunikasi hanya lewat suara dan video. Dan 5 hari terakhir, kami sudah jarang berkomunikasi. Perbedaan waktu dan jadwal Ed yang padat membuat semuanya sedikit lebih sulit dari dulu. Aku tahu semuanya ada risikonya dan ia pun tahu. Dan risiko itu perlu diambil untuk kebaikan bersama. Inilah yang terbaik untuk kami. Sebuah perpisahan.

#End Of Flashback#

          Ada satu hal yang tidak pernah aku lupa dari gitar dan kopi. Dua buah benda yang mengawali sebuah cerita indah yang berakhir dengan kerelaan. Gitar dengan suara lembut yang mengalun indah di tengah kesepian dan kopi yang memberi kehangatan di tengah kesendirian.


Maaf ya kalau maksa dan nggak jelas.

I'll see you soon.

Ciao x

Tidak ada komentar:

Posting Komentar